Friday, July 27, 2012

Part 2 : Jobless Dignity




Bangun siang, malas-malasan, sempat tidak ingin pergi, satu jam menunggu gantian di interview, lead me to another 2jam nungguin si pimpinan datang, seorang perempuan, untuk mengetahui apakah gw bakal diterima menjadi PA di perusahaan outsourcing miliknya.


This is so fast. Ada saat-saat dimana, diterima kerja bukanlah soalan utama. Lebih wide dari itu. Dulu, ketika gw di Bali, berhadapan dengan pewawancara merupakan salah satu cara untuk "uji nyali dan tes kemampuan sudah sejauh mana". Bagaimana berhadapan dengan orang asing (HRD), mereka tiba-tiba menghaikimi lo dari perspektifnya, menyatakan pantas dan tidak untuk bekerja bersama mereka. Selain itu, ketika di wawancara, lo bisa melihat dari kacamata orang laen tentang kemampuan lo udah sejauh mana. Kadang, kita atau gw aja deh samplenya. Gw ngerasa gw belum bisa begini, begitu, malu, confidence gw entah melayang dimana. Tapi, ketika ada orang lain yang nge-judge, "You can DO it, tapi ada rasa tidak percaya diri yang menghalangi. Explore yourself"


Biasanya kalimat penyemangat seperti inilah yang gw cari. Proses how I value myself. Orang lain bisa melihat kelebihan gw, nah kenapa gw ngga bisa??


Tes aja kalo kalian berani dan memang waktunya pas, keterima atau ngga sih belakangan. Ini sih bagus untuk orang-orang fresh-graduate macam gw dulu, ketika di interview ke sekian kali, pas di perusahaan besar lo udah tau trik menjawab yang baik dan bisa memenangkan hati pewawancara.


Oke balik lagi ke cerita gw pertama. 


Ketika gw nunggu di lantai bawah, gw menyadari sepertinya ini perusahaan keluarga. Karena Emaknya pimpinan ada di sana juga, gw sih ngga mau rasis, tapi orang-orang tingkatan management semua matanya sipit. Nah, yang lucu, Emaknya sempat tanya gw tinggal di mana, gw jawab dong, Jakarta Timur. Trus dia bilang, "waah ini sudah sore ya, nanti kalo mau pulang bareng saya aja. Nanti kan anak saya nganterin sampe di daerah X, kamu turun di sana, kan kalo naek taksi lebih deket"


Busetttt, baek aja ini Emak. Apa kaga takut?? baru juga kenal barusan, tapi who knows kalo anaknya juga baik??


Tak lama, datang Mercy hitam, keluar seorang wanita putih mulus dengan baju nge jreng berkacamata hitam melewati gw. 


"Tolong laptop saya bawa ke atas" perintahnya kepada sang supir. Sembari melenggang kangkung, dengan tangan kosong.


Yang begini mau nebengin gw balik??? Bisa hujan badai ini Jakarta. Lol.


Singkat kata singkat cerita, gw dipanggil naik lagi untuk menghadap sang pimpinan ini, dia duduk di depan gw dengan rokok di tangan yang dihembuskan ke samping beberapa kali. Kopi hitam satu gelas dan jajanan di ujung meja. Tanpa menanyakan apakah gw puasa dan say sorry. WALAUPUN dia pimpinan, setidaknya itu ETIKA dasar orang yang menghargai agama lain, 


Dari sini gw sudah YAKIN, I can not work with her and I'm wasting my precious time to negotiate about my salary. Definitely, she won't agree. Sudah terlanjur sore untuk pulang, oke, baiklah let's bring the game!!


Semakin sore hari, semakin gw ngerasa dia TERLALU berlebihan menghakimi gw. Misalnya, ketika dia berkata kalo gw harusnya lebih CALM yang dalam bahasanya, harus lebih down to earth karena gw terlalu songong.


Gw bengong.


Sumpah, gw heran dengan orang-orang yang masih berharap bahwa wanita itu mesti kalem, ngga usah menonjol, biasa aja, ga usah terlalu pintar. Kalopun pintar, diem aja.


"Lo bisa mengoperasikan komputer?"
"bisalah dikit-dikit, ngga pinter amat"
"Lo bisa bahasa Inggris aktif??"
"yaah lumayan"
"Bisa bekerja under pressure?"
"kayaknya sih bisa"


Apa begitu jawaban orang dengan experience? Down to earth yang menurut gw Less Confidence ketika wawancara TIDAK gw anjurkan sama sekali. Percaya deh, ketika lo menganggap diri lo serba kekurangan, kurang pintar, kurang menarik, kurang percaya dengan kemampuan diri sendiri, you will end up di company antah berantah.


Banyak orang yang spik-spik gede ketika interview eh malah mereka yang dapet posisi bagus, kenapa? Karena berhasil meyakinkan pewawancara mereka beyond the expectation. Extraordinary. Nah, menurut gw down to earth personality itu urusan kalo udah keterima. Lo ngga boleh sok-pinter dengan teman kantor, be friendly, sharing knowledge, itu urusaaaaan nanti sodara-sodara. Bukan ketika di interview. 


Percaya diri juga bukan berarti lo mesti bohong dengan achievment pekerjaan selama ini. Tegaskan bahwa kepercayaan diri itu karena experience taught you that, lo deserve to get the position because you are capable doing the work, the load, the pressure. HRD itu ngga bodoh kok, bisa liat sekilas mana yang bisa kerja mana yang ngga. Mana yang professional mana yang anak baru. Kalo mereka butuh posisi tersebut diisi dengan orang professional, mereka akan mempertahankan lo. Kalo mereka butuh posisi biasa saja, kenapa harus hire professional yang jelas-jelas bakal minta gaji lebih tinggi?


Apa ada seorang bell boy lulusan S2?? 


Belum lagi Professional HRD juga tentu faham, misalnya, orang-orang dari Sumatera memiliki nada bicara yang lebih besar. Bukan berarti mereka emosional mungkin terlalu excited ketika diwawancara. Orang Jawa pun bicara lebih pelan bukan berarti mereka bisa ditindas karena ngga biasa speak up. 


Untuk itulah perlunya kontrol diri dalam berbicara, ada titik koma, jeda, tinggi rendah suara, yang bisa dilatih. Entah itu berbicara di depan cermin atau balik lagi ke cara gw, sering-sering ikut interview. Bahkan ketika gw sudah dapat pekerjaan, gw masih suka sesekali ikut interview, nothing to lose.


Ini juga menjadi point si pewawancara bahwa gw KURANG JELI melihat peluang pekerjaan. Pertanyaan besar, kenapa gw resign ketika gw belum dapat pekerjaan sama sekali?? Katanya, kalo gw PINTAR, gw mesti siapin back up perang.


Can I say something? sebelum Ibu direktur ini terus melihat kalo gw ini anak kemarin sore.


"Yes, please"


Alasan utama gw berhenti adalah, bla bla bla... Dan kenapa gw resign sebelum dapat pekerjaan karena posisi gw tinggal di Qatar. Tidak seperti Indonesia, yang lo bisa seenak jidat atur interview ketika hari libur atau ambil cuti sehari, di sana ada sistem sponsorship. Ketika gw memutuskan berhenti, sponsorship gw DICABUT dan gw harus keluar dari Qatar sesegera mungkin. Tidak mudah bahkan GW BELUM PERNAH DENGER, ada staff yang berhenti dari company gw terus kerja di perusahaan laen. Benar ada, yang masih bisa stay di Qatar karena pergantian sponsorship diurus oleh keluarga mereka yang memang tinggal di Qatar juga, entah itu Bapak, Ibu, Kakak atau Suami. Ada ikatan kontrak yang perusahaan lain tidak bisa ganggu gugat, ini government rules bukan cuma dari company rules.


Kemudian, gw juga ngga bisa ngatur meeting dengan HRD manapun karena terpisah negara tadi. Orang Indo itu kurang bisa memanfaatkan teknologi. Mana mau mereka ngadain wawancara lewat SKYPE, liat aja berita beberapa bulan lalu tentang kunjungan-kunjungan kerja pejabat yang menghabiskan MILIARAN karena mereka membawa keluarga berbondong-bondong ke luar negri untuk studi bandinglah, ini lah itu lah. Padahal semuanya bisa dipecahkan dengan kemajuan teknologi. INTERNET.


Tambahannya, kebanyakan perusahaan pasti mo liat penampilan pelamar LIVE. Mana bisa gw terbang dari Qatar ke Jakarta hampir 9 Jam perjalanan hanya untuk wawancara sehari? Ngga gampang pula untuk keluar masuk dari Qatar bahkan ketika Passport gw ditangan,gw ga bisa keluar di hari Sabtu Minggu untuk pulang ke tanah air. Ada leave-form yang mesti gw isi, apabila itu EMERGENCY leave harus dijelaskan kenapa, gw mesti fight the leave dengan puluhan staff lain yang jauh hari sudah merencanakan liburan mereka. Ngga mudah wahai sodara-sodari.


Sebenarnya gw bisa diam aja, ngga usah menjelaskan toh gw juga ogah kerja di kantor ini. Tapi hati kecil gw berbisik gw mesti speak up. Gw ngga terima gw dikatain semena-mena tanpa BUKTI yang jelas. Gw ada evidence untuk semua ucapan gw, sertifikat gw komplit kok. Ketika Ibu Direktur itu berkata bahwa GW NGGA PUNYA NILAI BARGAIN karena gw 100% jobless, gw ngga setuju.


Kenapa gw ngga bisa nawar gaji gw seperti yang gw inginkan??


Katanya, orang yang saat ini masih bekerja memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dengan orang yang TIDAK bekerja. Itu gw setuju tapi BUKAN berarti orang yang tidak bekerja tidak bisa mendapatkan HAK PENUH dalam salary. Di note gw sebelumnya, ada jenis-jenis pengangguran, nah gw yakin pengangguran Friksional atau sementara jelas tidak sama negosiasinya dengan pengangguran yang tidak bekerja karena kemampuannya dibawah standard company. Masih ada kemampuan yang harus dipertimbangkan dong bukannya pukul rata bahwa yang ngga kerja itu MENGEMIS KERJA. 


Tapi ya sudahlah yahhhh, company akan berusaha dengan prinsip ekonominya. Mendapatkan SDM berkualitas dengan bayaran seminim-minimnya.


At the end, mereka meminta gw bekerja KEESOKAN HARINYA. Tentu saja gw tolak, ini kenapa mereka udah ngatur-ngatur segala macem?? Lah, kita aja belum sampai pada satu kesepakatan.


"Kamu bisa kerja besok atau minggu depan"
"Sehari ngga kerja di potong Rp 250k"
"Ini gaji pokok, ini biaya makan dan transport"
"Tadi kamu bilang kamu mau lebaran kan? Sudah beli tiket? tanggal berapa?? Uhm,, okay, tapi tgl 23 kamu sudah harus lapor lagi ke kantor"


Setuju??


No way.


Tapi tetep pake ETIKA. Gw bilang aja nanti akan gw kabarin, beri waktu sekitar 3hari nanti akan gw hubungi balik. Simple. Tolak.




Adios Amigos



Adorable

#Masih banyak pekerjaan yang bisa menghargai kemampuan lo. Percaya pada diri sendiri dan pada ALLAH swt yang sudah mengatur REZEKI kita. Insha Allah, selalu dicukupkan.




No comments:

Post a Comment